Lanjut ke konten

Kepemimpinan Ala Budaya Jawa

September 26, 2011

Kinerja organisasi sangat dipengaruhi oleh peran pemimpin. Jika menginginkan kesinambungan dalam tumbuh kembangnya organisasi di masa depan, pemimpin harus dipersiapkan lebih awal. Bagaimana mengidentifikasi ciriciri pemimpin sejati?

Sudah lama terjadi perdebatan tentang proses seseorang menjadi pemimpin (leader). Apakah dia merupakan anugerah – artinya kemampuan leadership seorang pemimpin merupakan bakat yang diperoleh sejak lahir? Atau, apakah pemimpin itu merupakan hasil dari proses pelatihan dan pendidikan? Pertanyaan tersebut tidak habis-habisnya menjadi perdebatan. Setiap kesimpulan diiringi dengan penjelasan yang dianggap benar. Namun, alangkah baiknya kita tidak terjebak dalam polemik yang berkepanjangan itu. Seperti diungkapkan mantan Presiden Direktur BNI Securities, Suryo Danisworo, “Tidak perlu diperdebatkan mana yang benar, karena tidak ada kemutlakan dalam ilmu manajemen,” katanya menandaskan.

Dalam bukunya bertajuk Warisan Kepemimpinan Jawa untuk Bisnis, Suryo menggarisbawahi bahwa ada tiga hal pokok dari sifat pemimpin yang kerap dibutuhkan oleh suatu kelompok atau organisasi. Yakni, berada di depan, mengayomi, dan mencerahkan. Lebih jauh, ia menyatakan, sikap batin akan selalu mendominasi unsur pemimpin dalam ketiga sifat tersebut, karena segalanya bermula dari karakter dan komitmen. “Unsur sikap batin akan selalu lebih banyak dari unsur lain yang merupakan kecerdasan atau keterampilan seorang calon pemimpin,” tulis pria kelahiran Surakarta, 14 November 1947, ini dalam bukunya.

Pada sikap batin “berani” berada di depan, Suryo memaparkan, pemimpin harus berani bertanggung jawab dan bukanlah orang yang berkarakter pengecut. Selain itu, konteks “berani” yang ia maksudkan adalah suatu sikap batin yang sportif, fair, dan wajar. Sebab, menurutnya, pemimpin sejati adalah orang-orang yang tidak hanya berani tampil di kala kelompoknya senang, melainkan juga bertanggung jawab ketika kelompoknya dalam kondisi sulit. “Dia (pemimpin) harus habis-habisan untuk melindungi kelompoknya. Apalagi, seorang pemimpin sejati akan muncul untuk mengambil alih tanggung jawab ketika kelompoknya dalam kondisi membahayakan,” tuturnya memberi alasan.

Di balik itu, Suryo menyadari, tidak mudah menemukan calon pemimpin yang benar-benar memenuhi kriteria berani berada di depan. Dari pengalamannya sebagai tenaga profesional, teman-teman sesama profesinya sering bependapat, posisi untuk berani di depan adalah sikap batin yang perlu dipertimbangkan secara profesional. Dengan kata lain, perlu dihitung untung dan ruginya. Walaupun Suryo dapat memahami argumentasi tersebut, dalam hal ini ia tidak sependapat. “Berada di depan lebih dari sekadar sikap berani bertanggung jawab, tetapi juga siap menjadi ‘korban’ dari suatu sistem yang tidak fair dan dari suatu keadaan yang tidak bersih,” katanya berdalih.

Ia memastikan, sikap untuk siap menjadi korban tidak ada korelasinya dengan sikap bodoh. Menurutnya, sikap itu timbul bukan karena ingin tampil sebagai ksatria, tetapi timbul dari sikap moral seorang manusia. “Secara moral, bila tidak ada pilihan lagi, pantaskah dia sebagai pemimpin membiarkan dirinya selamat dan kelompoknya yang celaka? Karena pemimpin bukanlah pemimpi. Pemimpin sejati tidak akan segan mengambil tanggung jawab anak buahnya,” tutur Suryo menandaskan. Jadi, menurutnya, menerima jabatan sebagai pemimpin berarti harus berani menerima segala konsekuensi, tidak hanya kenikmatannya, tetapi juga risikonya karena jabatan pemimpin adalah jabatan yang mendapatkan privilege.

Sikap batin kedua adalah mengayomi. Dijelaskan Suryo, mengayomi adalah sikap batin yang lebih dari sekadar melindungi. Sikap ini mampu menciptakan keteduhan, yang akan membangun sinergi dan daya bagi kelompoknya. “Tanpa sikap batin dan kemampuan untuk mengayomi, kinerja dari kelompok menjadi tidak terarah dan tidak optimal. Sikap batin pertama juga bertujuan untuk mengayomi anggota kelompoknya,” urainya menjelaskan. Jadi, pemimpin sejati yang berani berada di depan, tidak sekadar berani bertanggung jawab atas kebijakan atau tindakan yang diambilnya, tetapi juga manfaat yang lebih besar, yakni mengayomi kelompoknya.

Lebih jauh, Suryo menyatakan, daya yang ditimbulkan oleh unsur mengayomi sangatlah dahsyat. “Saya menjadi saksi bagaimana team work yang merasakan sifat pengayoman dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Team work yang optimal akan menghasilkan daya yang optimal,” tuturnya memastikan. Misalnya, jika seorang karyawan merasa terayomi di lingkungan kerjanya, tentu akan membuat dia merasa nyaman dalam bekerja sehingga akan tercipta produktivitas yang tinggi bagi perusahaan, karena karyawan akan lebih mampu berkreativitas. Oleh karena itu, Suryo menegaskan, hubungan batin antara yang mengayomi dan yang diayomi harus diciptakan dan menjadi tanggung jawab seorang pemimpin.

Ciri ketiga, menurut Suryo dalam bukunya, ialah “mencerahkan”. Ia menjelaskan, pemimpin harus mampu memberi pencerahan kepada anggota kelompoknya. “Saya menggunakan istilah mampu karena diperlukan unsur keterampilan dalam memberikan pencerahan. Selain dilandasi sikap batin untuk memberi, membantu, dan berkontribusi, juga diperlukan kecerdasan seorang pemimpin untuk dapat memberi pencerahan,” paparnya. Kecerdasan itu dapat berupa keterampilan dan pengetahuan di bidang manajemen atau umum, namun juga termasuk hal-hal yang khusus sesuai disiplin ilmu yang disyaratkan bagi seorang pemimpin untuk menjalankan fungsi memimpin perusahaan atau organisasi.

Suryo menambahkan, fungsi pencerahan dari pemimpin juga ditujukan untuk menyiapkan kader-kader pemimpin selanjutnya, yang menjamin perusahaan atau organisasi akan tumbuh terus dan mampu mengadakan perubahan sesuai dinamika dari lingkungan. “Tidak terlampau sulit untuk mengenali siapa yang memiliki sifat memberi pencerahan. Dalam unit kerja atau organisasi yang kecil, misalnya, sudah dapat dilihat siapa yang suka membagi ilmunya dan suka membantu. Yang lebih sulit adalah menemukan mereka yang mampu secara sistematik menyiapkan kader bagi unitnya, apalagi meyiapkan seseorang yang akan menggantikannya,” urai peraih gelar S2 dari Universitas Kyoto, Jepang, ini.

Fungsi pencerahan, menurut Suryo, dapat dilihat pada pemimpin perusahaan yang selalu menyatukan ide, pikiran, dan kinerja karyawan sehingga menjadi daya dahsyat yang akan membawa perusahaan ke posisi yang ditargetkannya. Untuk itu, karyawan mem-butuhkan pencerahan yang mampu menyatukan mereka. Kekuatan pencerahan yang dimaksudkan Suryo adalah direction atau arahan ke mana mereka harus bergerak. “Pencerahan akan membuat karyawan dan unit bisnis merasa diakui kontribusinya,” katanya meyakinkan. Agar pemimpin mampu memberikan pencerahan secara optimal, prinsip “7-T” dari Suryo dapat dijadikan referensi bagi para pemimpin. Prinsip 7-T meliputi: Toto, Titi, Titis, Temen, Tetep, Tatag, dan Tatas. “Agar tercipta suasana yang mengayomi dan mencerahkan, serta mampu menciptakan suasana sejuk seperti feel at home, ada ajaran Jawa yang saya peroleh dari kakek, almarhum KRMTA Poornomo Hadiningrat, yaitu 7-T. Ajaran ini belum terlampau tua jika dibandingkan dengan falsafah Jawa yang lain,” tutur Suryo yang tertuang dalam bukunya.

Ia menceritakan, prinsip 7-T merupakan hasil pengalaman kakeknya selama menjabat pamong praja. Pengalaman itu kemudian diajarkan kepada dirinya agar dapat dijadikan pedoman dalam bekerja. “Beliau selalu menekankan, kita harus selalu me-review diri sendiri sebelum memberikan keputusan maupun bertindak,” ujarnya menyadur ucapan sang kakek. Jadi, seorang pemimpin harus selalu mengkaji, apakah dalam kesehariannya dia telah memenuhi prinsip-prinsip 7-T dengan baik.

Mengenai prinsip 7-T, Suryo menjelaskan, 3-T pertama (Toto, Titi, dan Titis) merupakan skills (keterampilan), yang juga dipengaruhi oleh kecerdasan seorang pemimpin. “Bahwa arti Toto itu teratur, Titi itu teliti, dan Titis itu tepat. Nah, tiga skill itu yang sebenarnya amat diperlukan seorang pemimpin,” ujarnya menegaskan. Misalnya, pada prinsip Toto, seorang pemimpin dituntut untuk berpikir, berbicara, dan bekerja secara teratur atau sistematis. “Karena pemimpin harus mampu menciptakan rule of the game atau standard operating procedures (SOP),” katanya memberi alasan. Kemudian, prinsip 4-T berikutnya (Temen, Tetep, Tatag, dan Tatas) merupakan suatu sikap atau tekad yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, yang diiringi dengan suatu kegiatan atau action. “Prinsip 4-T berikutnya, yang terdiri dari Temen (jujur atau tulus), Tetep (konsisten), Tatag (tabah), dan Tatas (tegas) merupakan komitmen atau niat yang harus terwujud pada perilaku atau sikap pemimpin sehari-hari dalam memimpin kelompok atau perusahaan,” kata ayah dua putri dan suami dari Elida, ini menyarankan. Ia memastikan, pemimpin yang Temen atau jujur dalam pola pikir dan perilakunya, akan diikuti dengan ketulusan anggota tim dalam bekerja sesuai sasaran yang ingin dicapai.

Mengenai sikap batin dan prinsip 7-T yang perlu dimiliki seorang pemimpin, Mooryati Soedibyo selaku CEO Kelompok Usaha Mustika Ratu – seperti dikutip dari buku ini – berpendapat, buku yang ditulis Suryo mengenai cara menyiapkan calon pemimpin di perusahaan adalah langka dan dapat menjadi referensi yang berharga. Terlebih, buku ini ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya sebagai pemimpin di perusahaan, baik di dalam maupun luar negeri. Buku ini, lanjut Mooryati, menjadi lebih menarik karena mengupas manajemen yang didasari oleh falsafah Jawa.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo mengatakan – sesuai pesan tertulisnya di buku Suryo, kepemimpinan selalu merupakan proses dua arah, yaitu interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin adalah orang yang bekerja untuk melayani orang-orang atau bawahan yang ia pimpin, dengan cara memberi saluran dan kesempatan bagi bawahannya untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam suasana kompetisi yang sehat.

 

*Courtesy: portal HR

No comments yet

Tinggalkan komentar